Apa siih Hipnosis, hipnotis, dan hipnotisme? Mungkin banyak orang yang mengajukan pertanyaan seperti itu. Sebuah pertanyaan yang sederhana,bukan? Jawabannya tergantung, why? ternyata dibalik pertanyaan itu masih memiliki jawaban yang berbeda-beda dari para praktisi hipnotisme di Indonesia.
Sebagian praktisi menganggap bahwa kosakata “hipnosis” dan “hipnotis”, pada prinsipnya, berkesesuaian makna karena dianggap sama-sama diterjemahkan dari kosakata bahasa Inggris “ yaitu hypnosis”. Namun, sebagian lagi menolak penggunaan kata ”hipnotis” dijadikan sebagai padanan kata dari “hipnosis”. Pendapat ini menganggap kosakata “hipnotis” tersebut diadaptasi dari bahasa Inggris “hypnotist” yang berarti pelaku kegiatan hipnosis. Hal ini dianggap sama dengan penerjemahan kata “hypnotherapy” menjadi “hipnoterapi” serta “hypnotherapist” menjadi “hipnoterapis”.
Jika melihat persepsi yang berkembang dalam masyarakat saat ini, tampaknya penggunaan kosakata “hipnotis” masih cenderung dihubungkan dengan hal “negatif” dan “menyeramkan” karena minimnya pemahaman tentang proses kegiatan hipnosis secara lebih lanjut.
Bahkan masih ada yang mengatakan bahwa hipnosis itu haram atau bertentangan dengan nilai nilai Agama.
Kata “hipnosis” lebih banyak digunakan oleh masyarakat yang telah memandang hipnosis sebagai suatu fenomena normal dan alamiah. Sementara itu, kata “hipnotisme” (dari kata “hypnotism”) bisa diartikan sebagai “segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan hipnosis” tampaknya lebih dapat diterima semua pihak.
Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 501), makna kata “hipnosis” adalah “keadaan seperti tidur karena sugesti, yang pada taraf permulaan orang itu berada di bawah pengaruh orang yang memberikan sugestinya, tetapi pada taraf berikutnya menjadi tidak sadar sama sekali”. Sementara itu, makna kata “hipnotis” adalah “membuat atau menyebabkan seseorang berada dalam keadaan hipnosis; berkenaan dengan hipnosis”.
Nah, berangkat dari arti pada KBBI, sebenarnya, kondisi hipnosis bukannya membuat seseorang menjadi “tidak sadar sama sekali”. Kondisi hipnosis hanyalah berpindah keaktifan kesadarannya, dari pikiran sadar (conscious mind) ke pikiran bawah sadar (subconscious mind). Hal itu menunjukkan masih terjadi “misinterpretasi” dalam masyarakat kita tentang pengertian kondisi hipnosis itu sendiri.
Jadi, tentu saja wajar terjadi “perbedaan pandangan” tentang penggunaan kata hipnosis dan hipnotis. Apalagi terjadi “miskonsepsi” kepada siapa saja yang sudah ikut pelatihan sekalipun.
Untuk itu tampaknya, Edukasi dan “Improvement” atas pemahaman tentang kegiatan hipnosis yang sesungguhnya pada masyarakat Indonesia, masih merupakan jalan panjang, yang secara berkesinambungan terus menjadi tugas penting bagi LKP IHC, PKHI dan LKP yang berkiprah di dunia hipnosis untuk terus mensosialisasikan Hipnosis sebagai bagian alamiah dari kehidupan kita sehari-hari.
Teruslah semangat, semangatlah terus mensosialisasikan Hipnosis di Indonesia. Marilah kita jadikan Hipnosis sebagai “Profesi yang mulia”,
Salam sukses sehat selalu,
Andri Hakim, www.AndriHakim.com